noscript-img

Muarajambi dan Ajaran Modern

Menurut catatan sejarah, banyak bhikshu pengunjung dari mancanegara, seperti I-Tsing, Wu-Hing, tinggal beberapa lama di Sriwijaya untuk mempersiapkan diri belajar di Nalanda, India. I-Tsing sendiri tinggal di Sriwijaya selama 10 tahun. Ada juga bhikshu pengunjung yang belajar di Sriwijaya, kemudian kembali dan mengajar di India dan negara-negara lainnya, seperti Dipamkara Shrijnana. Banyak juga bhikshu berapa negara lain. Sebaliknya, banyak guru dan siswa dari Sriwijaya yang mengunjungi Nalanda, India dan kemudian kembali dan mengajar di Sriwijaya. Salah satu Guru Besar Sriwijaya yang sangat terkenal sekitar abad ke-10/11 Masehi adalah Acharya Dharmakirti.

Acharya Dharmakirti

Acharya Dharmakirti dianggap sebagai Guru Besar pada masa tersebut. Paling tidak, ada enam karya beliau yang tercatat dalam kumpulan Tengyur (naskah-naskah ulasan). Karya-karya tersebut adalah: (1) Abhisamaya-alamkara-nama-prjnaparmita-upadesa-sastra-vrtti-durbodha-aloka-ama-tika, (2) Bodhisattva-caryavatara-pindartha, (3) Bodhisattva-carya-vatara-sattrimsat-pindarta, (4) Siksa-samuccaya-abhisamaya-nama (5) Arya-acala-sadhana-nama, dan (6) Krodha-ganapati-sadhana [Alaka Chattopadhyaya (1999): Atisa and  Tibet].

Abhisamaya-alamkara-nama-prjnaparmita-upadesa-sastra-vrtti-durbodha-aloka-nama-tika” merupakan maha karya (magnus opus) oleh Acharya Dharmakirti. Karya luar biasa tentang filsafat Mahayana ini, terutama berisi penjelasan yang sangat rinci mengenai paramita tertinggi dalam ajaran Mahayana, yaitu Prajnaparamita. Dari karya ini saja, Acharya Dharmakirti dianggap sebagai tokoh filsafat Mahayana yang paling terkemuka pada abad ke-10/11 Masehi [Alaka Chattopadhyaya (1999): Atisa and  Tibet].

Dalam Tengyur edisi Peking, tanda penerbit dari teks tersebut tertera berikut: “Ditulis oleh Dharmakirti atas permintaan Raja Shri Cudamaniwarman, pada tahun ke-10 di masa pemerintahan Raja Cudamaniwarman, di Wijayanagara, Suwarnadwipa.” Dalam Katalog Cordier, disebut bahwa penulis teks tersebut adalah Acharya Dharmakirti-shri dari Suwarnadwipa dan ada catatan tambahan: “Karya ini disusun pada masa pemerintahan Deva-shri-warma-raja, Cudamani, alias Cudamanimandapa di Malayagiri di Wijayanagara, Suwarnadwipa.” [Alaka Chattopadhyaya (1999): Atisa and  Tibet].

Salah satu murid Acharya Dharmakirti yang terkenal adalah Dipamkara Shrijnana yang datang ke Indonesia tahun 1012 Masehi dan belajar selama 12 tahun di Sriwijaya, tepatnya diperkirakan di Kawasan Muarajambi. Beliau kemudian membawa ajaran yang dipelajarinya di Indonesia ke India dan Tibet dan ajaran-ajaran tersebut berkembang dengan pesat di sana. Belakangan, sekitar abad ke-18, pada masa dinasti Qing, ajaran-ajaran dari Indonesia ini berkembang di Cina dan menjadi agama nasional seluruh Kekaisaran.

Dipamkara Shrijnana (980-1054 Masehi)

Dipamkara Shrijnana dilahirkan dalam keluarga kerajaan tahun 980 Masehi di negeri Benggala, Bangladesh, dengan nama asli: Chandragarbha. Pada umur 19 tahun, ia ditabhiskan sebagai seorang shramanera (calon bhikshu) dan diberi nama Dipamkara Shrijnana dan pada usia 29 tahun, ia ditabhiskan sebagai seorang bhikshu.

Dipa artinya ‘pelita,’ kara artinya ‘seseorang yang menjalankan,’ Dipamkara berarti ‘pemegang pelita.’ Shrijnana artinya ‘prajna yang bersinar.’ Di Tibet, Dipamkara Shrijnana dikenal dengan nama Lama Atisha. ‘Lama’ artinya guru, ‘Ati’ artinya ‘agung, maha,’ dan ‘Isha’ artinya ‘Lord’ atau ‘prabhu,’ sehingga arti ‘Atisha’ sangat mirip dengan ‘maha-prabhu.’

Pada usia 32 tahun (1012 Masehi), Dipamkara Shrijnana berlayar bersama para pedagang permata untuk mengunjungi Suwarnadwipa, pusat belajar buddhis yang terpenting pada masa itu.

Dipamkara Shrijnana tinggal dan belajar di Suwarnadwipa selama 12 tahun di bawah bimbingan Acharya Dharmakirti, dan selama periode inilah Dipamkara Shrijnana menjadi seorang guru besar dalam filsafat Mahayana dan logika pikir. Acharya Dipamkara Shrijnana menjadi salah seorang alumni yang paling terkenal dari Suwarnadwipa. Dipamkara kembali ke India pada tahun 1025.

Bodhi-patha-pradipa

Sepulangnya ke India, Dipamkara Shrijnana mengajar di Universitas Nalanda dan di beberapa tempat lainnya. Beliau tinggal di India selama 15 tahun dan terakhir menjabat sebagai Kepala Vihara di Vikramasila. Beliau kemudian diminta untuk mengajar di Tibet, dimana rencananya hanya untuk 3 tahun, tetapi akhirnya beliau tinggal di Tibet selama 13 tahun hingga wafat di tahun 1054. Semasa di Tibet, beliau merangkum ajaran-ajaran yang diperolehnya dan menulis teks “Bodhi-patha-pradipa (Pelita Pada Jalan Menuju Penggugahan). Karya ini merupakan karya yang benar-benar berdampak langgeng. Meskipun cukup singkat, terdiri dari 66 bait (sloka), namun prinsip-prinsip dasar pemikiran Buddhadharma disampaikan dalam bahasa yang sederhana dan jelas. Teks ini kemudian menjadi cikal-bakal disusunnya Margakrama (Jalan Bertahap Menuju Penggugahan) beberapa waktu kemudian. Dipamkara Shrijnana membawa pengaruh yang sangat besar dalam sejarah keagamaan di Tibet dan dunia pada umumnya, Ini merupakan salah satu ajaran universal Buddhadharma yang paling berpengaruh di dunia, hingga saat ini.

Sekitar pertengahan abad ke-18, Changkya Rolpe Dorje (1717-1786), menguraikan ajaran-ajaran Guru Agung Dipamkara Shrijnana dan Lama Tsongkha-pa, dan menerjemahkan ajaran-ajaran tersebut ke bahasa Manchu, Cina, dan Mongolia. Salah seorang teman belajar Changkya Rolpe Dorje adalah anak ke-4 dari Kaisar Cina, Yung Cheng, yang menjadi teman dekatnya dan kemudian menjadi Kaisar Ch’ien-lung. Persahabatan ini menjadi kunci utama atas pengaruh Changkya yang luar biasa di Cina, Manchuria, Mongolia, dan Tibet. Changkya diberikan hak-hak istimewa kekaisaran dan dianugerahi gelar yang sama dengan reinkarnasi beliau sebelumnya yakni Guru Kekaisaran (Teacher of the Empire). Dengan demikian, pada usia 17 tahun, Changkya telah mengemban peran yang sangat penting. Kemudian, Kaisar mengangkatnya sebagai Lama of the Seal, posisi tertinggi untuk seorang Guru Tibet dalam Kekaisaran Cina, dan Buddhadharma dijadikan sebagai agama nasional di seluruh Kekaisaran pada masa itu.

Dengan demikian, ajaran yang bersumber dari Indonesia ini, yang terutama dibawakan oleh Acharya Dipamkara Shrijnana, kemudian diteruskan oleh murid-murid beliau dan hingga kini ajaran-ajaran ini masih diajarkan, dipelajari dan dipraktikkan oleh banyak orang di berbagai negara di dunia.

Dipamkara Shrijnana mengakui bahwa beliau mempunyai banyak guru, namun beliau selalu mengatakan bahwa Guru Utama dimana beliau menerima ajaran-ajaran terpenting adalah Acharya Serlingpa Dharmakirti Shri dari Suwarnadwipa, Indonesia.

Anda dapat meninggalkan respon, atau telusuri dari web Anda.

Komentar Anda

  • Berlangganan Milis



  • Powered by WordPress