noscript-img

Kiriman Catatan dari Lautan Selatan

Berdasarkan tulisan-tulisan oleh Yi Jing

                                                                                                          oleh Tim Sudimuja

Nusantara di Hati Yi Jing: Pencarian, Penemuan dan Makna di Antara

        Kisah YiJing, seorang biksu dengan hati yang tulus ingin belajar, perjuangannya dalam mencari jawaban, membawanya menginjakkan kaki di bumi Nusantara. Tulisan-tulisan maupun terjemahan beliau, di antaranya, Kiriman Catatan Praktik Buddhadharma dari Lautan Selatan (Nanhai Jigui Neifa Zhuan), Riwayat Biksu-Biksu Agung yang Mengunjungi India dan Negeri-Negeri Tetangga untuk Mencari Ajaran di Masa Dinasti Tang (Da Tang Xiyu Qiufa Gaoseng Zhuan), dan Mulasarvastivada-ekasatakarman – telah menjadi saksi akan kebesaran bangsa. Tulisan beliau dapat dijadikan panduan untuk mengerti dan lebih dekat dengan bumi pertiwi, terutama mengenai kejayaan, jati diri bangsa, toleransi, dan kearifan yang sudah mengakar kukuh sejak 14 abad yang lalu.

Kehidupan dan Perjalanan Yi Jing

       Yi Jing adalah salah satu di antara tiga peziarah terkenal dari Tiongkok, kedua pendahulunya adalah Fa Xian dan XuanZang. Fa Xian termasuk salah satu biksu yang melakukan perjalanan ziarah ke India di masa-masa awal, di mana beliau tinggal di sana selama 15 tahun (399-414 Masehi), sedangkan Xuan Zang tinggal di India selama 17 tahun (629-645 Masehi). Lahir di Fanyang tahun 635 Masehi, Yi Jing mulai berguru dengan Shan Yu dan Hui Xi di usia yang sangat belia, yakni 7 tahun. Sejak berusia 18 tahun, Yi Jing berangan-angan untuk pergi ke India. Beliau menerima penahbisan penuh (upasampada) sebagai biksu pada umur 20 tahun sebagaimana usia yang dipersyaratkan.

        Sewaktu tinggal di ibukota, Chang’an, Yi Jing menyaksikan upacara besar-besaran yang dilakukan di bawah arahan khusus kaisar, untuk menghormati wafatnya Xuan Zang. Begitu tergerak hatinya akan antusiasme luhur Xuan Zang, Yi Jing berupaya mewujudkan niat yang sudah lama diimpikannya, yakni melakukan perjalanan ke India, yang pada waktu itu merupakan pusat pembelajaran Buddhadharma. Kendati sudah memiliki tekad tersebut sejak berumur 18 tahun, impian ini baru terlaksana ketika beliau berumur 37 tahun.

         Tahun 671 Masehi, Yi Jing bertolak dari Guangzhou, Tiongkok, berlayar selama 20 hari dan mendarat di Foshi, Sumatra. Di Foshi, beliau tinggal selama 6 bulan untuk belajar sabdavidya (tatabahasa Sanskerta), raja membantu untuk mengantarnya ke Moluoyou (Melayu) dan beliau tinggal di sana selama dua bulan, kemudian dari situ berangkat ke India melalui Jiecha (Kedah). 

         Bertolak dari Kedah di tahun 671 Masehi, beliau mengunjungi daerah demi daerah dan akhirnya tiba di Tamralipti, pelabuhan di pantai Timur India pada tahun 673 Masehi. Beliau lalu bertahap melanjutkan perjalanan ke India. Di zaman itu, perjalanan panjang selalu identik dengan mempertaruhkan nyawa sendiri. Tak terkecuali Yi Jing yang juga melewati banyak aral melintang, mulai dari ombak ganas, diserang penyakit karena musim, dan penyamun gunung yang melucuti seluruh bawaan dan jubahnya. Melewati perjalanan yang penuh tantangan, akhirnya beliau sampai di tempat-tempat yang dituju, tempat pembelajaran dan tempat ziarah yang berhubungan dengan Buddha.

       Selama 10 tahun (675-685 Masehi) Yi Jing belajar dan tinggal di Nalanda. Setelah mengumpulkan kitab-kitab ajaran, beliau mulai menelusuri langkah-langkah untuk kembali pulang di tahun 685 Masehi. Berlayar dari Tamralipti selama dua bulan, Yi Jing tiba di Kedah. Tinggal di Kedah selama beberapa waktu untuk menunggu kapal dan arah angin yang mendukung. Setelah satu bulan berlayar dari Kedah,beliau tiba kembali di Melayu untuk kedua kalinya, yang menurut beliau “sudah menjadi bagian dari Foshi dan ada banyak daerah (di bawah kekuasaannya).”

        Yi Jing kemudian tinggal di Shili Foshi selama empat tahun(685-689 Masehi).Tahun 689 Masehi, Yi Jing naik kapal bermaksud menitipkan surat guna meminta kertas dan tinta untuk menyalin sutra dan meminta sarana (biaya) untuk mempekerjakan penyalin, tetapi beliau pulang ke Tiongkok secara tidak sengaja selama 3 bulan. Karena kitab ajaran yang telah beliau bawa dari India sejumlah 500.000 sloka tertinggal di Foshi, beliau berkeinginan balik lagi ke sana. Memikirkan usianya yang menginjak 55 tahun, sempat terlintas dalam benak apakah beliau masih sanggup melakukan satu perjalanan panjang lagi. Namun, kekhawatiran ini ditepis begitu Zhen Gu, DaoHong, dan dua biksu lainnya yang masih muda bersemangat menemani beliau untuk kembali ke Shili Foshi, di tahun 689 Masehi.

        Yi Jing tinggal lagi di Foshi selama kurang lebih 5 tahun (akhir 689-695 Masehi). Di Shili Foshi, Yi Jing bertemu seorang biksu bernama Da Jin, dan di 692 Masehi, kepadanya Yi Jing menitip pulang ke Tiongkok: Sutra dan Sastra (Ulasan) sepuluh jilid, Kiriman Catatan Praktik Buddhadharma dari Lautan Selatan (Nanhai Jigui Neifa Zhuan) empat jilid, dan Riwayat Biksu-Biksu Agung yang Mengunjungi India danNegeri-Negeri Tetangga untuk Mencari Ajaran di Masa Dinasti Tang (Da Tang Xiyu Qiufa Gaoseng Zhuan) dua jilid.

        Di tahun 695 Masehi, Yi Jing kembali ke ibukota,Chang’an, dan disambut baik oleh Kaisar Wu Zetian, kaisar wanita yang berkuasa pada masa itu. Yi Jing berada di luar negeri selama 25 tahun (671-695 Masehi), mengunjungi lebih dari 30 negeri, membawa pulang sekitar 400 teks Buddhis, 500.000 sloka, dan peta lokasi Vajrasana Buddha.

        Setelah kembali ke kampung halamannya, Yi Jing mengabdikan sisa hidupnya untuk menulisdan menerjemahkan teks-teks Buddhadharma bersama sembilan biksu dari India, diantaranya, Shiksananda (salah satu yang menerjemahkan Sutra Gandavyuha sebagaimana terukir di Candi Borobudur), Isvara, dan sebagainya. Beliau menyelesaikan 56 terjemahan dengan total 230 jilid antara tahun 700-712 Masehi. Wafat di usia 79 tahun pada 713 Masehi, hidup dan karya beliau sangat dipuji oleh Kaisar Zhongzong sebagaimana tertera dalam pengantar Katalog Tripitaka.

Karya dan Terjemahan Yi Jing

Dari 56 karya maupun terjemahan Yi Jing, tiga di antaranya yang terkenal adalah:

  1. Kiriman Catatan Praktik Buddhadharma dari LautanSelatan(Nanhai Jigui Neifa Zhuan) ditulis antara tahun 691-692. Tercatat dalam Taisho Tripitaka T2125.

Nanhai terutama berisi aturan bersikap dan berperilaku dalam kebiaraan, termasuk tata cara penahbisan, memberi penghormatan, pelafalan doa, pradaksina, pengobatan,dan sebagainya.

  • Riwayat Para Biksu-Biksu Agung yang Mengunjungi India dan Negeri-Negeri Tetangga untuk Mencari Ajaran di Masa Dinasti Tang (DaTang XiyuQiufa Gaoseng Zhuan), juga ditulis antara tahun 691-692. Tercatat dalam Taisho Tripitaka T2066.

Dalam Da Tang, Yi Jing menyebut  57 biksu agung dan guru-guru besar yang beliau temukan selama perjalanannya, terutama di India, di pulau-pulau Lautan Selatan,dan negeri-negeri tetangga. Selain membahas latar belakang, pembelajaran, dan pengalaman perjalanan mereka, Yi Jing juga menggambarkan hubungan persahabatan dan persaudaraan yang erat nan menyentuh hati, betapa beliau terinspirasi oleh sepak terjang mereka.

  • Mulasarvastivada-ekasatakarman, ditulis sekembalinya beliau ke Tiongkok, antara tahun 700-703. Tercatat dalam Taisho Tripitaka T1453.

Diantara sutra-sutra atau teks yang sudah popular di masa itu, Yi Jing mengatakan demikian: “Di 10 pulau lebih di Lautan Selatan, parabiksu dan umat awam melafalkan Jatakamala …” (Nanhai, Bab XXXII). Tampaknya kisah tentang Jataka dan Avadana sangat popular dan dibuat dalam kidung untuk dilantunkan. Yi Jing sendiri juga menerjemahkan kisah Sudhanadan Manohara (terukir di Borobudur di tingkat 1, dinding dalam, deretan bawah)dalam kumpulan ajaran mengenai Vinaya, Mulasarvastivada-bhaishajya-vastu (Taisho Tripitaka T1448).

Foshi/Shili Foshi: Pusat Pembelajaran di Muarajambi, Sumatra

        Foshi atau Shili Foshi, sebutan untuk Sriwijaya, dimana Yi Jing datang dan menetap selama kurang lebih 10 tahun, sudah merupakan pusat pembelajaran yang terkenal di masa itu. Dalam tulisannya, beliau menggunakan istilah ‘Foshi’ atau ‘Shili Foshi’ secara silih berganti. Kelihatannya, ibukota awalnya disebut Foshi, dan setelah kerajaan tersebut berkembang pesat dan meluas hingga Melayu (yang kemudian menjadi daerah kekuasaan raja dari Foshi), maka keseluruhan kawasan dan juga ibukotanya menyandang istilah Shili Foshi. Oleh Prof. J. Takakusu, Shili Foshi ditransliterasi sebagai Sribhoga dan Foshi ditransliterasi sebagai Bhoga.

        Dalam Mulasarvastivada-ekasatakarman, Yi Jing menyebut ‘kota berbenteng’ yang ciri-ciri geografis dan arsitekturalnya, kemungkinan besar merujuk pada Kawasan Percandian Muara Jambi:

“Di kota Foshi yang berbenteng, terdapat biksu Buddhis berjumlah ribuan, di mana hati mereka bertekad untuk belajar dan menjalankan tindakan bajik.”

“Mereka menganalisa dan mempelajari semua mata pelajaran persis seperti yang ada di Madhyadesa (India); tata cara dan upacaranya sama sekali tak berbeda.”

       Selain memaparkan pembelajaran dan aktivitas di Foshi dan Shili Foshi, Yi Jing juga membuat rekomendasi sebagaimana dikutip dari buku yang sama:

“Jika ada biksu dari Tiongkok yang ingin pergi ke India untuk mendapatkan ajaran dan belajar melafalkan kitab asli, lebih baik mereka tinggal di sini selama satu atau dua tahun dan mempraktikkan tata cara yang benar, baru kemudian berlanjut ke India Tengah.”

        Cara pembelajaran dan subjek-subjek yang dipelajari di India dan di Lautan Selatan, beliau paparkan lebih lanjut dalam buku Nanhai (Bab XXXIV), di mana mata pelajarannya mencakup lima sains (pañcavidyā):logika dan filosofi (hetuvidya), tata bahasa dan kesusastraan (śabdavidyā), ilmu pengobatan dan kedokteran (cikitsāvidyā), inner science (adhyātmavidyā), seni dan kerajinan (śilakarmasthānavidyā). Terdapatjuga banyak sekali cabang ilmu tentang gramatika (tata bahasa), ilmu tentang penarikan kesimpulan (silogisme), dan sebagainya.

        Para biksu mempelajari semua teks Vinaya, mendalami sutra-sutra, dan sastra-sastra (ulasan). Selain teks-teks Buddhadharma, para biksu dan umat awam juga mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan di atas. Jika tidak, mereka tak layak mendapat gelar Bahusruta (secara harfiah: ‘banyak belajar’ atau‘mengetahui banyak tentang pembelajaran, ‘sruti’).

        Sejarah juga mencatat kedatangan banyak tokoh untukbelajar maupun mengajar di bumi Nusantara. Dalam Nanhai,Bab XXXIV, Yi Jing mengatakan bahwa Sakyakirti, salah satu di antara lima guru terkemuka di masanya, yang melakukan perjalanan ke lima wilayah India untuk belajar, sekarang tinggal di ShiliFoshi. Biksu-biksu semasaYi Jing yang mengunjungi atau tinggal di Foshi/Shili Foshi di antaranya adalah WuXing (Prajnadeva), Da Jin, Zhen Gu (Salacitta), Dao Hong (Buddhadeva), XinluoSeng, Zhi Hong (Mahaprajna), Fa Lang (Dharmadeva), Huai Ye (Sanghadeva), ShanXing (Sugati), Yun Qi (Kalacakra), juga biksu-biksu dari Korea yang tidak tercatat namanya.

Letak Foshi/Shili Foshi dan Konfirmasi Perubahan Catatan Sejarah

       Dalam buku Nanhai, bab XXX, YiJing mencatat: “Di Shili Foshi, pada pertengahan bulan delapan (penanggalan lunar) dan pertengahan musim semi (bulan dua penanggalan lunar), lempeng jam tidak berbayang, dan orang yangberdiri di tengah hari tidak berbayang. Matahari tepat di atas kepala dua kali dalam setahun.”

         Ketika kembali ke Moluoyou di tahun 685/awal 686 Masehi, Yi Jing mengatakan ‘‘Kami singgah hingga musim dingin tiba, kapal berlayar ke arah selatan sekitar sebulan dan tiba di Moluoyou, yang sekarang sudah menjadi bagian dari Foshi” (Mulasarvastivada Ekasatakarman). Hal ini sepenuhnya cocok dengan apa yang tertera dalam Prasasti Kedukan Bukit, bahwa di tahun 683 Masehi, Sri Dapunta Hyang mengadakan pawai kemenangan (jayasiddhayatra)atas ditaklukkannya Melayu oleh Sriwijaya (Slamet Muljana 2006).

Catatan lainnya Mengenai Hasil dan Produk Bumi, Bahasa, Busana, Serta Perjamuan di Hari Uposatha

        Yi Jing juga mendeskripsikan beberapa hal menarik dalam buku Nanhai, bahwa emas tampak berlimpah. Masyarakat biasanya mempersembahkan bunga teratai dari emas, menggunakan kendi-kendi dari emas dan memiliki arca-arca dari emas (Bab IX). Pulau Emas (Jin Zhou) adalah sebutan Yi Jing untuk Shili Foshi, karena daerah ini kaya akan emas, dan bunga teratai dari emas adalah hadiah yang istimewa dan berharga dari negeri ini.

       Produk-produk lain yang terkenal antara lain: pinang (puga), pala (gati), cengkeh (lavanga), kapur barus (karpura), dan kebiasaan menggunakan minyak wangi (Nanhai, Bab IX). Masyarakat di pulau-pulau Lautan Selatan menggodok cairan dari pohon, dikeringkan, dan dibentuk gumpalan gula (Mulasarvastivada Ekasatakarman).

        Bahasa yang digunakan masyarakat dikenal dengan nama ‘gunlun’ (mungkin bahasa Melayu kuno) dan mereka mengenakan ganman (sarung). Para biksu dipulau-pulau Lautan Selatan memakai kain dengan panjang tiga atau lima kaki, dilipat dua seperti taplak. Mereka menggunakan kain ini untuk berlutut saat bernamaskara dan menyampirkan kain ini di bahu saat berjalan (Nanhai, BabXXI).

        Menarik untuk menyimak apa yang tertuang dalam buku Nanhaitentang perayaan dan perjamuan di hari Uposatha di Lautan Selatan (Bab IX):

“Di pulau-pulau Lautan Selatan, perayaan hari Uposatha dibuat dalam skala yang lebih besar lagi. Pada hari pertama, tuan rumah menyiapkan kacang pinang, minyak beraroma wangi yang dibuat dari mustaka, dan sejumlah kecil tumbukan beras diletakkan pada lembaran daun di atas piring. Bahan-bahan ini disusun di atas tampah besar yang ditutup dengan kain putih …”

“Di pulau-pulau Lautan Selatan, mereka sering menggunakan tampah (dari anyaman daun) sebesar setengah tikar (alas duduk), di mana nasi yang terbuat dari satu atau dua sheng beras (yang tidak lengket),dihidangkan di atas tampah …Lalu 20 atau 30 jenis makanan disajikan … Ini pun perjamuan yang dilakukan oleh orang-orang yang relatif tidak mampu. Jika perjamuan dilakukan oleh raja atau orang kaya; piring perunggu, mangkuk perunggu, dan juga tampah seukuran tikar dibagikan. Jenis makanan dan minuman berjumlah ratusan. Pada kesempatan tersebut,raja-raja tidak mempermasalahkan kedudukan mereka dan menganggap diri sebagai pelayan, mempersembahkan makanan kepada para biksu dengan penuh hormat.”

“Para kerabat dan tetangga ikut berpartisipasi dalam perjamuan, mereka membawa beberapa jenis makanan, seperti ketupat, nasi, sayuran untuk sup, dan sebagainya. Biasanya makanan yang dibagikan kepada satu orang dapat mencukupi tiga orang. Dalam perjamuan yang dilakukan oleh orang kaya, makanannya bahkan tidak habis untuk 10 orang.”

        Adalah sangat melegakan hati bagaimana budaya yang sudah mendarah daging sejak dulu,masih terlihat dan terasa hingga kini, kepiawaian bangsa kita dalam hal berbagi, bersosialisasi, dan semangat gotong royong yang tinggi.

       Untuk Nusantara khususnya, catatan Yi Jing membuat kita menghargai kebesaran bangsa Indonesia yang menjadi tempat menimba ilmu, mengetahui tinggalan pengetahuan dan keterampilan dari subjek-subjek yang dulu intensif dipelajari, orang-orang yang datang untuk belajar lalu diajarkanke belahan dunia lain, hingga bagaimana tradisi masyarakat di masa itu.

       Untuk dunia, tulisan-tulisan Yi Jing memberi informasi betapa rute maritim menjadi bagian yang esensial untuk perdagangan dan perjalanan, terutama antara India dan Asia Tenggara. Lewat tulisan beliau, terdeskripsilah kondisi dan interaksi antara Tiongkok, Lautan Selatan, India, dan di saat bersamaan memberi wawasan tentang sejarah, kultur, kehidupan sosial di masyarakat, keagamaan, dan geografi.

Anda dapat meninggalkan respon, atau telusuri dari web Anda.

Komentar Anda

  • Berlangganan Milis



  • Powered by WordPress