noscript-img

Pranidhana Raja: Prasasti Talang Tuo 606 Saka – 684 Masehi

(1) || svasti °çrī çakavarṣātīta 606 dim dvitīya çuklapaksa vulan caitra ° sāna tatkālāna parlak çrīkṣetra ini ° niparvuat

Selamat sejahtera! Di tahun Saka 606, pada hari kedua paruh terang di bulan Caitra, ketika itulah taman Sriksetra ini dibuat

svasti : keberuntungan, sejahtera
çrī : sri – gelar kehormatan, indah, agung
çaka varṣā tīta : çaka : Saka, perhitungan tahun
    varṣā : warsa, tahun
    atīta : yang lalu
dvitīya : dua
çukla : terang
paksa : belahan
vulan : bulan
caitra : bulan kesembilan
sāna : sana
tat kālā : waktu itu
na : akhiran: pada
parlak : taman
çrī kṣetra : taman/padang agung
ini : ini
ni parvuat : diperbuat

(2) parvāṇḍa punta hiyaṃ çrī jayanāça ° ini pranidhānāṇḍa punta hiyaṃ ° savañakña yaṃ nitānaṃ di sini° ñiyur pinam hanāu ru-

atas pengarahan Punta Hyang Sri Jayanasa. Beginilah pranidhana niat Punta Hyang: Sebanyaknya tanaman yang ditanam di sini seperti kelapa, pinang, enau,

par-vdā-ṇḍa:atas pengarahan/dukungannya  
punta:sebutan raja/bangsawan  
hiyaṃ:hyang: sebutan untuk yang suci
çrī jayanāça:nama raja
ini:ini
pranidhānā:tekad, niat, keinginan dan harapan
ṇḍa:-nya
savañakña:sebanyaknya, semuanya
yaṃ:yang
ni tānaṃ di sini:ditanam di sini
ñiyur:kelapa
pinam:pinang
hanāu:enau, aren

(3) mviya dṅan samiçrāna yaṃ kāyu nimākan vuaḥña° tathāpi haur vuluh pattuṃ ityevamādi ° punarapi yaṃ parlak vukan

sagu serta bermacam-macam jenis pohon yang buahnya bisa dimakan; juga bambu air, bambu wuluh, bambu petung, dan sebagainya; demikian juga taman-taman lainnya

rumviya : rumbia/sagu
dṅan : dengan
samiçrāna : berbagai  
yaṃ : yang
kāyu : kayu, pohon
nimākan : dimakan
vuaḥña : buahnya  
tathāpi : tetapi
haur : bambu aur, air
vuluh : bambu wuluh
pattuṃ : bambu petung
ityevamādi : iti ewam adi: dan sebagainya
punarapi : demikian juga
yaṃ : yang
parlak : taman
vukan : bukan, selainnya

(4) dṅan tavad talāga savañakña yaṃ vuatku sucarita parāvis prayojanākan puṇyāña sarvvasatva sacarācara varopāyāña tmu

dengan bantaran dan telaga-telaganya, seluruh kebajikan berharga yang saya buat ini dipersembahkan supaya membawa manfaat buat semua makhluk. Semoga menjadi berbagai cara dan jalan yang terbaik untuk mendapatkan

dṅan : dengan
tavad : talut, bantaran
talāga : telaga
sa vañak ña : sebanyaknya, seluruhnya
yaṃ : yang
vuatku : yang ku/saya buat
sucarita : perbuatan baik, kebajikan
parāvis : yang lebih dihargai/berharga
prayojanā kan : diperuntukkan, didedikasikan
puṇyā ña : punya: guna, manfaat
nya : -nya
sarvva satva : sarva : semua
    satwa : makhluk
sacarācara : berbagai cara
varopāyāña : cara yang terbaik
tmu : bertemu

(5) sukha ° di āsannakāla di antara mārgga lai° tmu muaḥ ya āhāra dṅan āir niminuṃña ° savañakña vuatña huma parlak mañcak mu-

kebahagiaan. Semoga di tengah perjalanan mereka tak akan kekurangan makanan dan air untuk diminum. Semoga semua ladang dan kebun yang mereka buat berlimpah hasilnya,

sukha : kebahagiaan, kegembiraan
di : di
āsannakāla : āsana : duduk
  : kala : waktu
di : di
antara : di antara
mārgga : jalan
lai : lain
tmu : bertemu
muaḥ : lagi pula, juga
ya : dia
āhāra : makanan
dṅan : dengan
āir : air
ni minuṃ ña : diminumnya
savañakña : sebanyaknya, semuanya
vuatña : yang mereka buat
huma : ladang
parlak : kebun
mañcak : berlimpah

(6) aḥ ya maṃhidupi раçu prakāra ° marhulun tuvi vṛddhi muaḥya jāñan ya niknāi savañakña yaṃ upasargga °pīḍanu svapnavighna ° varaṃ vua-

juga dapat menghidupi banyak ternak serta pembantu-pembantu mereka juga berkembang. Lagi pula agar mereka tidak tertimpa kemalangan atau penderitaan yang membuat mereka susah tidur. Apa pun yang mereka harus perbuat

muaḥ : lagi pula, juga, serta
ya : dia
maṃhidupi : menghidupi, memelihara
раçu : pasu, ternak
prakāra : jumlah, banyak
marhulun : pembantu
tuvi : juga
vṛddhi : tumbuh, berkembang, melimpah
muaḥ : lagi pula, juga
ya : dia
jāñan : jangan
ya : dia
ni knāi : dikenai
sa vañak ña : sebanyaknya, semuanya
yaṃ : yang
upasargga : kemalangan, bahaya, malapetaka
pīḍanu : siksa, tindas
svapna : mimpi, tidur
vighna : rintangan, halangan
varaṃ : barang apa pun

(7) tāña kathamapi ° anukūla yaṃ graha nakṣatra parāvis diya ° nirvyādhi ajara kavuatanāña ° tathāpi savañakña yaṃ bhrtyāña

agar selalu berhasil, planet dan rasi bintangnya mendukung. Bebas dari penyakit dan ketuaan serta terjaga kekuatannya. Demikian juga seluruh pengikutnya

vuatā ña : buat: perbuatan yang harus dilakukan
ña : -nya: mereka
kathamapi : apa pun caranya
anukūla : sesuai, cocok
yaṃ : yang
graha : planet
nakṣatra : rasi bintang, konstelasi
parāvis : yang lebih dihargai
diya : dia
nirvyādhi : dituntaskan
ajara : tidak menjadi berumur, awet muda
kavuatanāña : kekuatan mereka
tathāpi : tetapi
savañakña : sebanyaknya, semuanya
yaṃ : yang
bhrtyāña : pengikut, pembantu, pelayan

(8) satyārjjava dṛḍhabhakti muaḥ ya dya ° yaṃ mitrāña tuvi jāñan ya kapaṭa yaṃ viniña mulaṃ anukūla bhāryyā muaḥ ya ° varam sthā

setia dan teguh berbakti kepada mereka. Agar tak ada teman yang mengkhianati mereka dan istri mereka merupakan istri yang menjadi sumber dukungan. Lagi pula di mana pun mereka berada

satyārjjava : setia, tulus
dṛḍhabhakti : teguh dalam berbakti
muaḥ : lagi pula, juga
ya : dia
dya : dia
yaṃ : yang
mitrāña : mitranya, temannya
tuvi : serta, juga
jāñan : jangan
ya : dia
kapaṭa : khianat
yaṃ : yang
viniña : bini/istrinya
mulaṃ : akar, mula, sumber
anukūla : sesuai, mendukung, tepat
bhāryyā : istri, perempuan
muaḥ : lagi pula, juga
ya : dia
varam : barang, milik

(9) naña lāgi cūri ucca vadhāña ° paradāra di sāna ° punarapi tmu ya kalyāṇamitra ° marvvaṅun vodhicitta dṅan maitri

semoga di tempat itu tidak ada pencurian, penipuan atau perselingkuhan. Selain itu, agar mereka bertemu dengan sahabat-sahabat luhur yang handal (kalyanamitra), membangun tekad untuk mencapai Penggugahan demi semua makhluk (bodhicitta), dengan cinta kasih (maitri)

sthānaña : tegak berdiri
lāgi : lagi, juga
cūri : dicuri, pencuri
ucca : congkak, muluk-muluk
vadhāña : mulut, bicara
paradāra : selingkuh, istri orang lain
di sāna : di sana
punarapi : selebihnya, lebih jauh, lagi pula
tmu : bertemu
ya : dia
kalyāṇamitra : sahabat luhur yang handal
marvvaṅun : membangun
vodhicitta : bodhi : penggugahan
    citta : cita
dṅan : dengan
maitri : mitra, cinta kasih

(10) dhāri di daṃ hyaṃ ratnatraya jañan marsārak dṅan daṃ hyam ratnatraya ° tathāpi nityakāla tyāga marçila kṣānti marvvañun vīryya rājin

dari Dang Hyang Triratna dan jangan terpisah dengan Dang Hyang Triratna. Tetapi selalu hidup dengan bermurah hati, tanpa keterikatan pada kepemilikan (tyaga), hidup susila tanpa kekerasan dengan komitmen untuk tidak mencederai (sila), memiliki kesabaran tanpa kemarahan (kshanti), serta selalu rajin, berenergi, dan bergairah dalam kebajikan (virya).

dhāri : dari
di : di
daṃ : dang, sebutan kehormatan
hyaṃ : hyang,sebutan untuk yang suci
ratnatraya : Triratna, Tiga Permata
jañan : jangan
marsārak : berserak, terpisah
dṅan : dengan
daṃ : dang, sebutan kehormatan
hyaṃ : hyang,sebutan untuk yang suci
ratnatraya : Triratna, Tiga Permata
tathāpi : tetapi
nitya : tidak berubah, selalu
kāla : waktu
tyāga : bermurah hati tanpa keterikatan pada kepemilikan
marçila : mar : dengan
    çila : hidup susila, komitmen untuk tidak mencederai
ksānti : kesabaran tanpa kemarahan, ketahanan yang toleran
marvvañun : membangun
vīryya : wirya: berenergi dan selalu bergairah dalam menjalankan yang bajik
rājin : rajin

(11) tāhu di samiçrāña çilpakalā parāvis ° samāhitacinta ° tmu ya prajñā° smṛti medhāvi ° punarapi dhaiṛyyamānī mahāsattva

Berpengetahuan dalam berbagai keahlian kesenian. Unggul dalam pemikiran dengan perhatian yang menyatu (samahitacinta), serta berwawasan tajam dan dalam (prajna). Yang terutama senantiasa hadir, berperhatian penuh, ingat, dan waspada (smrti). Selain itu, mereka berkeyakinan teguh (dhairyyamani)dan memiliki tubuh bajra (vajrasarira), Makhluk Agung (mahasattva),

tāhu : tahu
di : tentang
samiçrāña : bermacam-macam, berbagai
çilpakalā : seni, seniman, ciptaan
parāvis : unggul
samāhitacinta : samāhita : perhatian yang menyatu, terfokus
    cinta : pemikiran, menganalisa, refleksi
tmu : bertemu
ya : dia
prajñā : pradnya, wawasan tajam dan dalam
smṛti : perhatian penuh yang selalu hadir, ingat, dan waspada
medhāvi : yang terutama, yang dipentingkan
punarapi : selain itu, selebihnya, lebih jauh, lagi pula
dhaiṛyyamānī : keyakinan teguh
mahāsattva : makhluk agung

(12) vajraçarīra ° anupamaçakti ° jaya ° tathapi jātismara ° avikalendriya ° mañcak rupa ° subhaga hāsin halap ° ade-

yang berkekuatan tanpa banding, berjaya, serta dapat mengingat kehidupan masa lalu, berindra sempurna, dengan penampilan yang penuh, bahagia, murah senyum, dan tenang,

vajraçarīra : tubuh wajra
anupamaçakti : anupama: tak terbandingkan
çakti : sakti, kekuatan
jaya : berjaya, unggul
tathapi : tetapi
jātismara : kemampuan mengingat kehidupan masa lampau
avikalendriya : indra sempurna
mañcak : berlimpah, penuh, gemuk
rupa :penampilan, bentuk
subhaga : banyak untung, bahagia
hāsin : senyum, tawa, bersinar
halap : tenang, hening

(13) yavākya ° vrahmasvara ° jādi lāki ° svayambhu ° puna[ra]pi tmu ya cintāmaṇinidhāna ° tmu janmavaçitā ° karmmavaçita ° kleçavaçitā

berbicara dengan suara yang menyenangkan, suara Brahma. Jadi lelaki. Tumbuh sendiri sewajarnya. Selebihnya dapat menjadi Permata Pengabul Keinginan buat siapa pun yang bertemu dengan mereka. Berhasil memperoleh kebisaan mengatasi kelahiran, mengatasi karma,dan mengatasi emosi-emosi negatif.

adeyavākya : ade : serasi, menyenangkan
    vākya : bicara, ucapan
vrahma : Brahma  
svara : suara  
jādi : jadi  
lāki : suami, lelaki  
sva yambhu : tumbuh sendiri sewajarnya  
puna[ra]pi : selebihnya, lebih jauh, lagi pula  
tmu : bertemu  
ya : dia  
cintāmaṇi : permata pengabul keinginan  
nidhāna : wadah, harta karun  
tmu : bertemu  
janmavaçitā : janma : kelahiran
    vaçitā : kebisaan untuk menanggulangi, mengatasi
karmavaçita : karma : karma, tindakan
    vaçitā : kebisaan untuk menanggulangi, mengatasi
kleçavaçitā : kleça : klesha, kilesa, emosi-emosi negatif, kecenderungan buruk
    vaçitā : kebisaan untuk menanggulangi, mengatasi

(14) avasāna tmu ya anuttarābhisamyaksaṃvodhi ||

Hingga akhirnya mencapai Penggugahan yang Tak Terbandingkan, Lengkap, dan Sempurna (anuttarabhisamyaksambodhi).

avasāna : akhirnya
tmu : bertemu
ya : dia
anuttarā : tidak ada yang lebih atas
abhi : lengkap, agung
samyaksaṃ : sempurna
vodhi : bodhi : penggugahan

Bahasa Indonesia:

  1. Selamat sejahtera! Di tahun Saka 606, pada hari kedua paruh terang di bulan Caitra, ketika itulah taman Sriksetra ini dibuat
  2. atas pengarahan Punta Hyang Sri Jayanasa. Beginilah pranidhana niat Punta Hyang: Sebanyaknya tanaman yang ditanam di sini seperti kelapa, pinang, enau,
  3. sagu serta bermacam-macam jenis pohon yang buahnya bisa dimakan; juga bambu air, bambu wuluh, bambu petung, dan sebagainya; demikian juga taman-taman lainnya
  4. dengan bantaran dan telaga-telaganya, seluruh kebajikan berharga yang saya buat ini dipersembahkan supaya membawa manfaat buat semua makhluk. Semoga menjadi berbagai cara dan jalan yang terbaik untuk mendapatkan
  5. kebahagiaan. Semoga di tengah perjalanan mereka tak akan kekurangan makanan dan air untuk diminum. Semoga semua ladang dan kebun yang mereka buat berlimpah hasilnya,
  6. juga dapat menghidupi banyak ternak serta pembantu-pembantu mereka juga berkembang. Lagi pula agar mereka tidak tertimpa kemalangan atau penderitaan yang membuat mereka susah tidur. Apa pun yang mereka harus perbuat
  7. agar selalu berhasil, planet dan rasi bintangnya mendukung. Bebas dari penyakit dan ketuaan serta terjaga kekuatannya. Demikian juga seluruh pengikutnya
  8. setia dan teguh berbakti kepada mereka. Agar tak ada teman yang mengkhianati mereka dan istri mereka merupakan istri yang menjadi sumber dukungan. Lagi pula di mana pun mereka berada
  9. semoga di tempat itu tidak ada pencurian, penipuan atau perselingkuhan. Selain itu, agar mereka bertemu dengan sahabat-sahabat luhur yang handal (kalyanamitra), membangun tekad untuk mencapai Penggugahan demi semua makhluk (bodhicitta), dengan cinta kasih (maitri)
  10. dari Dang Hyang Triratna dan jangan terpisah dengan Dang Hyang Triratna. Tetapi selalu hidup dengan bermurah hati, tanpa keterikatan pada kepemilikan (tyaga), hidup susila tanpa kekerasan dengan komitmen untuk tidak mencederai (sila), memiliki kesabaran tanpa kemarahan (kshanti), serta selalu rajin, berenergi, dan bergairah dalam kebajikan (virya).
  11. Berpengetahuan dalam berbagai keahlian kesenian. Unggul dalam pemikiran dengan perhatian yang menyatu (samahitacinta), serta berwawasan tajam dan dalam (prajna). Yang terutama senantiasa hadir, berperhatian penuh, ingat, dan waspada (smrti). Selain itu, mereka berkeyakinan teguh (dhairyyamani) dan memiliki tubuh bajra (vajrasarira), Makhluk Agung (mahasattva),
  12. yang berkekuatan tanpa banding, berjaya, serta dapat mengingat kehidupan masa lalu, berindra sempurna, dengan penampilan yang penuh, bahagia, murah senyum, dan tenang,
  13. berbicara dengan suara yang menyenangkan, suara Brahma. Jadi lelaki. Tumbuh sendiri sewajarnya. Selebihnya dapat menjadi Permata Pengabul Keinginan buat siapa pun yang bertemu dengan mereka. Berhasil memperoleh kebisaan mengatasi kelahiran, mengatasi karma, dan mengatasi emosi-emosi negatif.
  14. Hingga akhirnya mencapai Penggugahan yang Tertinggi, Lengkap, dan Sempurna (anuttarabhisamyaksambodhi).

***

Diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh tim Sudimuja dan Jinabhumi. April 2019.

Referensi:

Cœdès, Georges (1930). Les inscriptions malaises de Çrīvijaya. Bulletin de l’Ecole française d’Extrême-Orient. Tome 30, pp. 29-80.

Kiriman Catatan dari Lautan Selatan

Berdasarkan tulisan-tulisan oleh Yi Jing

                                                                                                          oleh Tim Sudimuja

Nusantara di Hati Yi Jing: Pencarian, Penemuan dan Makna di Antara

        Kisah YiJing, seorang biksu dengan hati yang tulus ingin belajar, perjuangannya dalam mencari jawaban, membawanya menginjakkan kaki di bumi Nusantara. Tulisan-tulisan maupun terjemahan beliau, di antaranya, Kiriman Catatan Praktik Buddhadharma dari Lautan Selatan (Nanhai Jigui Neifa Zhuan), Riwayat Biksu-Biksu Agung yang Mengunjungi India dan Negeri-Negeri Tetangga untuk Mencari Ajaran di Masa Dinasti Tang (Da Tang Xiyu Qiufa Gaoseng Zhuan), dan Mulasarvastivada-ekasatakarman – telah menjadi saksi akan kebesaran bangsa. Tulisan beliau dapat dijadikan panduan untuk mengerti dan lebih dekat dengan bumi pertiwi, terutama mengenai kejayaan, jati diri bangsa, toleransi, dan kearifan yang sudah mengakar kukuh sejak 14 abad yang lalu.

Kehidupan dan Perjalanan Yi Jing

       Yi Jing adalah salah satu di antara tiga peziarah terkenal dari Tiongkok, kedua pendahulunya adalah Fa Xian dan XuanZang. Fa Xian termasuk salah satu biksu yang melakukan perjalanan ziarah ke India di masa-masa awal, di mana beliau tinggal di sana selama 15 tahun (399-414 Masehi), sedangkan Xuan Zang tinggal di India selama 17 tahun (629-645 Masehi). Lahir di Fanyang tahun 635 Masehi, Yi Jing mulai berguru dengan Shan Yu dan Hui Xi di usia yang sangat belia, yakni 7 tahun. Sejak berusia 18 tahun, Yi Jing berangan-angan untuk pergi ke India. Beliau menerima penahbisan penuh (upasampada) sebagai biksu pada umur 20 tahun sebagaimana usia yang dipersyaratkan.

        Sewaktu tinggal di ibukota, Chang’an, Yi Jing menyaksikan upacara besar-besaran yang dilakukan di bawah arahan khusus kaisar, untuk menghormati wafatnya Xuan Zang. Begitu tergerak hatinya akan antusiasme luhur Xuan Zang, Yi Jing berupaya mewujudkan niat yang sudah lama diimpikannya, yakni melakukan perjalanan ke India, yang pada waktu itu merupakan pusat pembelajaran Buddhadharma. Kendati sudah memiliki tekad tersebut sejak berumur 18 tahun, impian ini baru terlaksana ketika beliau berumur 37 tahun.

         Tahun 671 Masehi, Yi Jing bertolak dari Guangzhou, Tiongkok, berlayar selama 20 hari dan mendarat di Foshi, Sumatra. Di Foshi, beliau tinggal selama 6 bulan untuk belajar sabdavidya (tatabahasa Sanskerta), raja membantu untuk mengantarnya ke Moluoyou (Melayu) dan beliau tinggal di sana selama dua bulan, kemudian dari situ berangkat ke India melalui Jiecha (Kedah). 

         Bertolak dari Kedah di tahun 671 Masehi, beliau mengunjungi daerah demi daerah dan akhirnya tiba di Tamralipti, pelabuhan di pantai Timur India pada tahun 673 Masehi. Beliau lalu bertahap melanjutkan perjalanan ke India. Di zaman itu, perjalanan panjang selalu identik dengan mempertaruhkan nyawa sendiri. Tak terkecuali Yi Jing yang juga melewati banyak aral melintang, mulai dari ombak ganas, diserang penyakit karena musim, dan penyamun gunung yang melucuti seluruh bawaan dan jubahnya. Melewati perjalanan yang penuh tantangan, akhirnya beliau sampai di tempat-tempat yang dituju, tempat pembelajaran dan tempat ziarah yang berhubungan dengan Buddha.

       Selama 10 tahun (675-685 Masehi) Yi Jing belajar dan tinggal di Nalanda. Setelah mengumpulkan kitab-kitab ajaran, beliau mulai menelusuri langkah-langkah untuk kembali pulang di tahun 685 Masehi. Berlayar dari Tamralipti selama dua bulan, Yi Jing tiba di Kedah. Tinggal di Kedah selama beberapa waktu untuk menunggu kapal dan arah angin yang mendukung. Setelah satu bulan berlayar dari Kedah,beliau tiba kembali di Melayu untuk kedua kalinya, yang menurut beliau “sudah menjadi bagian dari Foshi dan ada banyak daerah (di bawah kekuasaannya).”

        Yi Jing kemudian tinggal di Shili Foshi selama empat tahun(685-689 Masehi).Tahun 689 Masehi, Yi Jing naik kapal bermaksud menitipkan surat guna meminta kertas dan tinta untuk menyalin sutra dan meminta sarana (biaya) untuk mempekerjakan penyalin, tetapi beliau pulang ke Tiongkok secara tidak sengaja selama 3 bulan. Karena kitab ajaran yang telah beliau bawa dari India sejumlah 500.000 sloka tertinggal di Foshi, beliau berkeinginan balik lagi ke sana. Memikirkan usianya yang menginjak 55 tahun, sempat terlintas dalam benak apakah beliau masih sanggup melakukan satu perjalanan panjang lagi. Namun, kekhawatiran ini ditepis begitu Zhen Gu, DaoHong, dan dua biksu lainnya yang masih muda bersemangat menemani beliau untuk kembali ke Shili Foshi, di tahun 689 Masehi.

        Yi Jing tinggal lagi di Foshi selama kurang lebih 5 tahun (akhir 689-695 Masehi). Di Shili Foshi, Yi Jing bertemu seorang biksu bernama Da Jin, dan di 692 Masehi, kepadanya Yi Jing menitip pulang ke Tiongkok: Sutra dan Sastra (Ulasan) sepuluh jilid, Kiriman Catatan Praktik Buddhadharma dari Lautan Selatan (Nanhai Jigui Neifa Zhuan) empat jilid, dan Riwayat Biksu-Biksu Agung yang Mengunjungi India danNegeri-Negeri Tetangga untuk Mencari Ajaran di Masa Dinasti Tang (Da Tang Xiyu Qiufa Gaoseng Zhuan) dua jilid.

        Di tahun 695 Masehi, Yi Jing kembali ke ibukota,Chang’an, dan disambut baik oleh Kaisar Wu Zetian, kaisar wanita yang berkuasa pada masa itu. Yi Jing berada di luar negeri selama 25 tahun (671-695 Masehi), mengunjungi lebih dari 30 negeri, membawa pulang sekitar 400 teks Buddhis, 500.000 sloka, dan peta lokasi Vajrasana Buddha.

        Setelah kembali ke kampung halamannya, Yi Jing mengabdikan sisa hidupnya untuk menulisdan menerjemahkan teks-teks Buddhadharma bersama sembilan biksu dari India, diantaranya, Shiksananda (salah satu yang menerjemahkan Sutra Gandavyuha sebagaimana terukir di Candi Borobudur), Isvara, dan sebagainya. Beliau menyelesaikan 56 terjemahan dengan total 230 jilid antara tahun 700-712 Masehi. Wafat di usia 79 tahun pada 713 Masehi, hidup dan karya beliau sangat dipuji oleh Kaisar Zhongzong sebagaimana tertera dalam pengantar Katalog Tripitaka.

Karya dan Terjemahan Yi Jing

Dari 56 karya maupun terjemahan Yi Jing, tiga di antaranya yang terkenal adalah:

  1. Kiriman Catatan Praktik Buddhadharma dari LautanSelatan(Nanhai Jigui Neifa Zhuan) ditulis antara tahun 691-692. Tercatat dalam Taisho Tripitaka T2125.

Nanhai terutama berisi aturan bersikap dan berperilaku dalam kebiaraan, termasuk tata cara penahbisan, memberi penghormatan, pelafalan doa, pradaksina, pengobatan,dan sebagainya.

  • Riwayat Para Biksu-Biksu Agung yang Mengunjungi India dan Negeri-Negeri Tetangga untuk Mencari Ajaran di Masa Dinasti Tang (DaTang XiyuQiufa Gaoseng Zhuan), juga ditulis antara tahun 691-692. Tercatat dalam Taisho Tripitaka T2066.

Dalam Da Tang, Yi Jing menyebut  57 biksu agung dan guru-guru besar yang beliau temukan selama perjalanannya, terutama di India, di pulau-pulau Lautan Selatan,dan negeri-negeri tetangga. Selain membahas latar belakang, pembelajaran, dan pengalaman perjalanan mereka, Yi Jing juga menggambarkan hubungan persahabatan dan persaudaraan yang erat nan menyentuh hati, betapa beliau terinspirasi oleh sepak terjang mereka.

  • Mulasarvastivada-ekasatakarman, ditulis sekembalinya beliau ke Tiongkok, antara tahun 700-703. Tercatat dalam Taisho Tripitaka T1453.

Diantara sutra-sutra atau teks yang sudah popular di masa itu, Yi Jing mengatakan demikian: “Di 10 pulau lebih di Lautan Selatan, parabiksu dan umat awam melafalkan Jatakamala …” (Nanhai, Bab XXXII). Tampaknya kisah tentang Jataka dan Avadana sangat popular dan dibuat dalam kidung untuk dilantunkan. Yi Jing sendiri juga menerjemahkan kisah Sudhanadan Manohara (terukir di Borobudur di tingkat 1, dinding dalam, deretan bawah)dalam kumpulan ajaran mengenai Vinaya, Mulasarvastivada-bhaishajya-vastu (Taisho Tripitaka T1448).

Foshi/Shili Foshi: Pusat Pembelajaran di Muarajambi, Sumatra

        Foshi atau Shili Foshi, sebutan untuk Sriwijaya, dimana Yi Jing datang dan menetap selama kurang lebih 10 tahun, sudah merupakan pusat pembelajaran yang terkenal di masa itu. Dalam tulisannya, beliau menggunakan istilah ‘Foshi’ atau ‘Shili Foshi’ secara silih berganti. Kelihatannya, ibukota awalnya disebut Foshi, dan setelah kerajaan tersebut berkembang pesat dan meluas hingga Melayu (yang kemudian menjadi daerah kekuasaan raja dari Foshi), maka keseluruhan kawasan dan juga ibukotanya menyandang istilah Shili Foshi. Oleh Prof. J. Takakusu, Shili Foshi ditransliterasi sebagai Sribhoga dan Foshi ditransliterasi sebagai Bhoga.

        Dalam Mulasarvastivada-ekasatakarman, Yi Jing menyebut ‘kota berbenteng’ yang ciri-ciri geografis dan arsitekturalnya, kemungkinan besar merujuk pada Kawasan Percandian Muara Jambi:

“Di kota Foshi yang berbenteng, terdapat biksu Buddhis berjumlah ribuan, di mana hati mereka bertekad untuk belajar dan menjalankan tindakan bajik.”

“Mereka menganalisa dan mempelajari semua mata pelajaran persis seperti yang ada di Madhyadesa (India); tata cara dan upacaranya sama sekali tak berbeda.”

       Selain memaparkan pembelajaran dan aktivitas di Foshi dan Shili Foshi, Yi Jing juga membuat rekomendasi sebagaimana dikutip dari buku yang sama:

“Jika ada biksu dari Tiongkok yang ingin pergi ke India untuk mendapatkan ajaran dan belajar melafalkan kitab asli, lebih baik mereka tinggal di sini selama satu atau dua tahun dan mempraktikkan tata cara yang benar, baru kemudian berlanjut ke India Tengah.”

        Cara pembelajaran dan subjek-subjek yang dipelajari di India dan di Lautan Selatan, beliau paparkan lebih lanjut dalam buku Nanhai (Bab XXXIV), di mana mata pelajarannya mencakup lima sains (pañcavidyā):logika dan filosofi (hetuvidya), tata bahasa dan kesusastraan (śabdavidyā), ilmu pengobatan dan kedokteran (cikitsāvidyā), inner science (adhyātmavidyā), seni dan kerajinan (śilakarmasthānavidyā). Terdapatjuga banyak sekali cabang ilmu tentang gramatika (tata bahasa), ilmu tentang penarikan kesimpulan (silogisme), dan sebagainya.

        Para biksu mempelajari semua teks Vinaya, mendalami sutra-sutra, dan sastra-sastra (ulasan). Selain teks-teks Buddhadharma, para biksu dan umat awam juga mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan di atas. Jika tidak, mereka tak layak mendapat gelar Bahusruta (secara harfiah: ‘banyak belajar’ atau‘mengetahui banyak tentang pembelajaran, ‘sruti’).

        Sejarah juga mencatat kedatangan banyak tokoh untukbelajar maupun mengajar di bumi Nusantara. Dalam Nanhai,Bab XXXIV, Yi Jing mengatakan bahwa Sakyakirti, salah satu di antara lima guru terkemuka di masanya, yang melakukan perjalanan ke lima wilayah India untuk belajar, sekarang tinggal di ShiliFoshi. Biksu-biksu semasaYi Jing yang mengunjungi atau tinggal di Foshi/Shili Foshi di antaranya adalah WuXing (Prajnadeva), Da Jin, Zhen Gu (Salacitta), Dao Hong (Buddhadeva), XinluoSeng, Zhi Hong (Mahaprajna), Fa Lang (Dharmadeva), Huai Ye (Sanghadeva), ShanXing (Sugati), Yun Qi (Kalacakra), juga biksu-biksu dari Korea yang tidak tercatat namanya.

Letak Foshi/Shili Foshi dan Konfirmasi Perubahan Catatan Sejarah

       Dalam buku Nanhai, bab XXX, YiJing mencatat: “Di Shili Foshi, pada pertengahan bulan delapan (penanggalan lunar) dan pertengahan musim semi (bulan dua penanggalan lunar), lempeng jam tidak berbayang, dan orang yangberdiri di tengah hari tidak berbayang. Matahari tepat di atas kepala dua kali dalam setahun.”

         Ketika kembali ke Moluoyou di tahun 685/awal 686 Masehi, Yi Jing mengatakan ‘‘Kami singgah hingga musim dingin tiba, kapal berlayar ke arah selatan sekitar sebulan dan tiba di Moluoyou, yang sekarang sudah menjadi bagian dari Foshi” (Mulasarvastivada Ekasatakarman). Hal ini sepenuhnya cocok dengan apa yang tertera dalam Prasasti Kedukan Bukit, bahwa di tahun 683 Masehi, Sri Dapunta Hyang mengadakan pawai kemenangan (jayasiddhayatra)atas ditaklukkannya Melayu oleh Sriwijaya (Slamet Muljana 2006).

Catatan lainnya Mengenai Hasil dan Produk Bumi, Bahasa, Busana, Serta Perjamuan di Hari Uposatha

        Yi Jing juga mendeskripsikan beberapa hal menarik dalam buku Nanhai, bahwa emas tampak berlimpah. Masyarakat biasanya mempersembahkan bunga teratai dari emas, menggunakan kendi-kendi dari emas dan memiliki arca-arca dari emas (Bab IX). Pulau Emas (Jin Zhou) adalah sebutan Yi Jing untuk Shili Foshi, karena daerah ini kaya akan emas, dan bunga teratai dari emas adalah hadiah yang istimewa dan berharga dari negeri ini.

       Produk-produk lain yang terkenal antara lain: pinang (puga), pala (gati), cengkeh (lavanga), kapur barus (karpura), dan kebiasaan menggunakan minyak wangi (Nanhai, Bab IX). Masyarakat di pulau-pulau Lautan Selatan menggodok cairan dari pohon, dikeringkan, dan dibentuk gumpalan gula (Mulasarvastivada Ekasatakarman).

        Bahasa yang digunakan masyarakat dikenal dengan nama ‘gunlun’ (mungkin bahasa Melayu kuno) dan mereka mengenakan ganman (sarung). Para biksu dipulau-pulau Lautan Selatan memakai kain dengan panjang tiga atau lima kaki, dilipat dua seperti taplak. Mereka menggunakan kain ini untuk berlutut saat bernamaskara dan menyampirkan kain ini di bahu saat berjalan (Nanhai, BabXXI).

        Menarik untuk menyimak apa yang tertuang dalam buku Nanhaitentang perayaan dan perjamuan di hari Uposatha di Lautan Selatan (Bab IX):

“Di pulau-pulau Lautan Selatan, perayaan hari Uposatha dibuat dalam skala yang lebih besar lagi. Pada hari pertama, tuan rumah menyiapkan kacang pinang, minyak beraroma wangi yang dibuat dari mustaka, dan sejumlah kecil tumbukan beras diletakkan pada lembaran daun di atas piring. Bahan-bahan ini disusun di atas tampah besar yang ditutup dengan kain putih …”

“Di pulau-pulau Lautan Selatan, mereka sering menggunakan tampah (dari anyaman daun) sebesar setengah tikar (alas duduk), di mana nasi yang terbuat dari satu atau dua sheng beras (yang tidak lengket),dihidangkan di atas tampah …Lalu 20 atau 30 jenis makanan disajikan … Ini pun perjamuan yang dilakukan oleh orang-orang yang relatif tidak mampu. Jika perjamuan dilakukan oleh raja atau orang kaya; piring perunggu, mangkuk perunggu, dan juga tampah seukuran tikar dibagikan. Jenis makanan dan minuman berjumlah ratusan. Pada kesempatan tersebut,raja-raja tidak mempermasalahkan kedudukan mereka dan menganggap diri sebagai pelayan, mempersembahkan makanan kepada para biksu dengan penuh hormat.”

“Para kerabat dan tetangga ikut berpartisipasi dalam perjamuan, mereka membawa beberapa jenis makanan, seperti ketupat, nasi, sayuran untuk sup, dan sebagainya. Biasanya makanan yang dibagikan kepada satu orang dapat mencukupi tiga orang. Dalam perjamuan yang dilakukan oleh orang kaya, makanannya bahkan tidak habis untuk 10 orang.”

        Adalah sangat melegakan hati bagaimana budaya yang sudah mendarah daging sejak dulu,masih terlihat dan terasa hingga kini, kepiawaian bangsa kita dalam hal berbagi, bersosialisasi, dan semangat gotong royong yang tinggi.

       Untuk Nusantara khususnya, catatan Yi Jing membuat kita menghargai kebesaran bangsa Indonesia yang menjadi tempat menimba ilmu, mengetahui tinggalan pengetahuan dan keterampilan dari subjek-subjek yang dulu intensif dipelajari, orang-orang yang datang untuk belajar lalu diajarkanke belahan dunia lain, hingga bagaimana tradisi masyarakat di masa itu.

       Untuk dunia, tulisan-tulisan Yi Jing memberi informasi betapa rute maritim menjadi bagian yang esensial untuk perdagangan dan perjalanan, terutama antara India dan Asia Tenggara. Lewat tulisan beliau, terdeskripsilah kondisi dan interaksi antara Tiongkok, Lautan Selatan, India, dan di saat bersamaan memberi wawasan tentang sejarah, kultur, kehidupan sosial di masyarakat, keagamaan, dan geografi.

Sekilas Vikramashila

“Vikramashila, merupakan vihara atau tempat tinggal para bhiksu berupa bangunan besar bersegi empat yang setiap sisinya berukuran 330 meter dan memiliki stupa bata berbentuk silang di tengah vihara. Terdapat pintu masuk yang megah dari Utara dengan proyeksi (tonjolan) pada setiap sisi yang masing-masing mempunyai empat ruang. Atap pintu gerbang utama disokong pilar tinggi monolitik. Sekitar 70 meter sebelah Timur dari gerbang utama, ada gerbang belakang. Lorong sempit lainnya ditemukan di sayap Selatan dari vihara.”

“Vihara Vikramashila memiliki 208 ruangan, yakni 52 ruangan di masing-masing empat sisi yang menghadap beranda umum dan ada tangga di tengahnya yang turun menuju halaman. Ruangan-ruangan berukuran sekitar 4 meter persegi. Pada dinding luar vihara terdapat proyeksi (tonjolan) berbentuk menara bundar di sudut – proyeksi yang serupa tapi lebih kecil di empat sisi dengan interval yang teratur, di mana ada empat proyeksi bundar dan empat proyeksi segi empat di setiap sisi. Setiap proyeksi berisi tiga tempat tidur dengan jendela melengkung. Di tengah ketiga sayap, ada proyeksi-proyeksi bersegi empat yang lebih besar pada dinding luar dengan provisi tiga ruangan. Beberapa ruang bata melengkung ditemukan di bawah tanah, di bawah beberapa ruangan, yang mungkin merupakan ruang meditasi para bhiksu. Saluran air utama vihara terletak di sudut Timur Laut.”

“Sedikit ke Utara dari gerbang utama yang terhubung dengan jalan setapak adalah pintu gerbang kecil yang serasi sempurna dengan stupa induk dan gerbang utama. Di kedua sisi jalur gerbang utama menuju gerbang kecil, terdapat kumpulan stupa persembahan yang terbuat dari batu dan batu bata. Di area Utara menuju gerbang kecil, ada beberapa bangunan yang tersebar termasuk sebuah vihara bergaya Tibet dan sebuah kuil Hindu. Struktur-struktur ini dibangun dari bahan yang diambil di sekitar vihara setelah kehancurannya, yang menunjukkan bahwa bangunan-bangunan tersebut bermasa belakangan. Tinggalan-tinggalan dari pilar yang jatuh dan patah, yang lepas dari landasannya menunjukkan kerusakan yang disengaja sedangkan tumpukan lapisan abu yang tebal saat penggalian menunjukkan hancurnya vihara karena terbakar.”

“Sekitar 32 meter ke Selatan di sudut Tenggara yang terhubung dengan vihara utama melalui lorong sempit adalah suatu bangunan bersegi empat yang diidentifikasi sebagai gedung perpustakaan dengan pendingin air dari reservoir melalui serangkaian ventilasi di dinding belakang. Sistem pendingin ini mungkin dimaksudkan untuk menjaga naskah-naskah yang rapuh.”

“Mahavihara Vikramashila adalah sebanding dengan Mahavihara Somapura di Paharpur (Bangladesh), yang bermasa sama. Dari segi perencanaan, keduanya sangat mirip tapi Vihara Vikramashila lebih besar dan memiliki proyeksi-proyeksi pada dinding luar.”

Sisa-Sisa Tinggalan Vikramashila

“Tersebar di area seluas lebih dari 100 hektar, ini adalah sisa-sisa reruntuhan Mahavihara Vikaramshila, universitas tua terkemuka yang didirikan oleh raja dari Dinasti Pala, Raja Dharmapala di akhir abad VIII atau awal abad IX. Mahavihara ini mengalami masa kejayaan selama lebih kurang empat abad sebelum hancur di awal abad XIII Masehi. Adanya mahavihara ini terutama diketahui dari sumber-sumber Tibet, khususnya tulisan-tulisan dari Taranatha, seorang bhiksu sejarawan Tibet di abad XVI dan XVII.”

“Tempat ini diberi nama Vikramashila, mungkin dari julukan ‘Vikramshil’ yang diberikan kepada pendirinya yakni Raja Dharmapala, namun menurut tradisi, vihara ini dinamakan demikian karena Yaksha bernama Vikrama ditaklukkan di sini. Vikramashila juga dikenal sebagai universitas kerajaan (negara) karena donatur pertama, Dharmapala adalah seorang raja, juga gelar-gelar untuk para cendekiawan dianugerahkan oleh raja. Ini dikukuhkan dengan ditemukannya beberapa tanda segel selama pengalian, di mana terukir Sang Legenda, ‘Sri Rajagriha Mahavihare.’ Di Tibet, mungkin tempat ini terkenal dengan nama Mahavihara Vikramashila, sedangkan di India terkenal dengan nama Mahavihara Rajagriha.”

“Vikramashila adalah salah satu universitas Buddhis terbesar yang memiliki hubungan sangat dekat dengan dua universitas tua lainnya yaitu Nalanda dan Odantapuri. Dikatakan bahwa ada lebih dari 100 guru dan sekitar 1.000 mahasiswa di universitas ini. Universitas ini menghasilkan banyak cendekiawan terkemuka yang diundang oleh negara-negara lain untuk menyebarkan ajaran, budaya dan agama Buddha. Universitas tersebut dipuji karena menghasilkan sejumlah tokoh-tokoh besar seperti Ratnavajra, Jetari, Jnana Srimitra, Ratnakirti, Ratnakara Shanti dan lainnya, tetapi yang paling terkenal dan terkemuka di antara semuanya adalah Atisa Dipankara, pendiri ajaran Buddha di Tibet. Mata pelajaran seperti teologi, filsafat, tata bahasa, metafisika, logika, dsb diajarkan di sini, namun cabang ilmu pembelajaran yang paling penting adalah Tantra karena Vikramashila berkembang di masa-masa Tantra, ketika ilmu mistis merupakan subjek yang digemari, baik dalam ajaran Buddhis maupun Hindu. Dikatakan bahwa seperti senat atau dewan akademik universitas modern, terdapat dewan profesor terkemuka untuk mengawasi dan memberi instruksi untuk para guru. Dewan ini juga mengawasi urusan-urusan di Universitas Nalanda. Pertukaran antar guru juga biasanya terjadi. Kerjasama dalam hal eksekusi dan manajemen antara kedua universitas mungkin dikarenakan Raja Dharmapala adalah penyokong kedua universitas tersebut – seperti dewan di masa sekarang. Ijazah dan gelar diberikan kepada mahasiswa oleh raja yang memerintah.”

“Dari penggalian teliti atas situs ini yang awalnya dilakukan oleh Universitas Patna (1960-1969) dan kemudian oleh Survei Arkeologi India (1972-1982), ditemukan sebuah vihara besar bersegi empat dengan stupa di tengahnya, gedung perpustakaan dan sekumpulan stupa persembahan. Ke arah Utara vihara, ditemukan sejumlah bangunan yang tersebar termasuk sebuah vihara bergaya Tibet dan sebuah kuil Hindu.”

“Sejumlah besar barang antik dari bahan yang berbeda-beda, di antaranya fragmen arsitektur, arca dari batu dan patung perunggu baik Buddhis maupun Hindu, prasasti, koin perak dan tembaga, pelat terakota (tembikar), patung terakota manusia, hewan dan burung, tanda segel, mainan, penggaruk kulit, tasbih dari batu, kaca dan terakota serta sejumlah besar peralatan dari tanah liat yang ditemukan di tempat ini selama penggalian, memberikan titik terang tentang sejarah, seni dan arsitektur dari Dinasti Pala.”

***
Courtesy: Nalanda Mahavihara, India
Archaeological Survey of India

  • Berlangganan Milis



  • Powered by WordPress