noscript-img

Pertemuan Acharya Dipamkara Shrijnana dengan Acharya Dharmakirti di Suwarnadwipa

Dalam biografi beliau, Acharya Dipamkara Shrijnana menulis mengenai perjalanannya ke Suwarnadwipa dan pertemuannya dengan Acharya Dharmakirti di tahun 1013 Masehi.

“Pada tahun 1012, Dipamkara, bersama beberapa pedagang, bertolak (dari India) menuju Suwarnadwipa dengan sebuah kapal besar. Perjalanannya lama dan melelahkan, dan berlangsung selama berbulan-bulan, selama perjalanan para penjelajah dilanda badai yang mengerikan … Pada masa itu, Suwarnadwipa adalah pusat pembelajaran Buddhadharma di dunia Timur, dan Guru Besar (Acharya Dharmakirti) di Suwarnadwipa dianggap sebagai cendekiawan terbesar pada masa itu …” [Alaka Chattopadhyaya (1999): Atisa and Tibet].

“ … Segera setelah menyeberangi lautan luas, saya (Dipamkara) menuju Caitya atau Stupa Keemasan (Golden Reliquary) Sukhagati … dan bertemu dengan enam bhikshu meditator, murid dari Guru Suwarnadwipi (Dharmakirti) … Caitya tersebut dikelilingi oleh hutan Suwarnadwipa di sebelah Utara, teratai-teratai indah di sebelah Selatan, hutan bambu yang lebat di sebelah Barat dan rawa-rawa di sebelah Timur …”

“Di sana kami tinggal bersama mereka selama 14 hari. Kemudian, para bhikshu mendatangi Guru Agung Suwarnadwipi dan memohon … “Lalu mereka pergi menemui beliau … Dari kejauhan, kami melihat mereka berdiri dalam barisan untuk menyambut kedatangan kami … jarak antara satu sama lain tidak terlalu dekat maupun tidak terlalu jauh, mereka berjalan dalam barisan seperti pelangi warna-warni menuju tempat kediaman Guru Suwarnadwipi … Saya bersujud di kaki beliau … kemudian para penghuni dan pengunjung bersama-sama menuju halaman biara dimana seorang bhikshu sepuh sedang mengajar sekelompok bhikshu … Dengan demikian, beliau (Guru Suwarnadwipi) secara sempurna memberikan ajaran (lima belas sesi Abhisamaya-alamkara) kepadaku.” Setelah itu, saya tinggal di Istana Payung Perak (palace of silver parasols) dan menggunakan waktu untuk belajar, kontemplasi dan meditasi.” [Thupten Jinpa (2006): Mind Training – The Great Collection].

Mungkinkah tempat ini adalah Kawasan Percandian Muarajambi dimana memang terdapat komunitas biara, dan dimana ajaran-ajaran diberikan di halaman terbuka (courtyards) seperti sistem yang digunakan di India dan Tibet)? Acharya Dipamkara Shrijnana mengatakan bahwa beliau tinggal di Istana Payung Perak (Palace of Silver Parasols), mungkinkah ini adalah Bukit Perak (Bukit Sengalo) di Kawasan Percandian Muarajambi?

Acharya Dipamkara Shrijnana tinggal di Suwarnadwipa selama 12 tahun untuk sepenuhnya menguasai ajaran-ajaran murni Buddhadharma. Beliau kembali ke India tahun 1025.

Kembali ke India

Acharya Dipamkara Shrijnana berumur 44 tahun ketika kembali ke India. Beliau tinggal di India selama 15 tahun, mengajarkan Dharma dan memegang berbagai tanggung jawab yang sangat penting di beberapa biara di India sebelum ke Tibet. Selama 15 tahun di India, beliau mendedikasikan upaya demi penyebaran pengetahuan dan Dharma di berbagai pusat pembelajaran seperti Vajrasana, Somapuri, Nalanda, Odantapuri dan Vikramashila. Penyebarluasan Dharma dan ajaran-ajaran dengan dimensi baru, membuat beliau dianugerahi gelar “Dharmapala.”

Biara Vikramashila didirikan oleh Raja Dharmapala dari Dinasti Pala pada abad ke-8 Masehi. Sekitar 8.000 murid belajar di Vikramashila di bawah bimbingan banyak cendekiawan, yang dipimpin oleh Acharya Dipamkara Shrijnana dimana beliau menjabat sebagai Kepala Biara. Para murid dari berbagai wilayah di India, Cina, Tibet, Ujjaini, Turkestan dan Nepal datang untuk belajar di Vikramashila. Pada masa ini, Nalanda sedang mengalami kemunduran. Ajaran-ajaran Mahayana dan Tantra yang berasal dari India kemudian tumbuh berkembang di Vikramashila dan menyebar ke berbagai wilayah di Asia.

Anda dapat meninggalkan respon, atau telusuri dari web Anda.

Komentar Anda

  • Berlangganan Milis



  • Powered by WordPress