noscript-img

Napak Tilas Pusat Pembelajaran: Nalanda (India) dan Muarajambi (Indonesia)

8 hari (15-22 Maret 2015). Perjalanan untuk mengeksplorasi Nalanda, Vikramashila, Sera, dan sekitarnya. Perjalanan untuk merasakan kehidupan para viharawan serta budaya dan tradisi yang masih bernapas hingga saat ini. Penggambaran kegiatan para Sangha dalam buku Kiriman Catatan Praktik Buddhadharma dari Lautan Selatan (Nanhai Ji Gui Neifa Zhuan; 南 海 寄 歸 內 法 傳), ditulis oleh Yi Jing (seorang biksu peziarah dari Tiongkok), memang memunculkan banyak tanda tanya. Apalagi, di abad 7 Masehi Yi Jing pernah tinggal selama lebih kurang 10 tahun di Shili Foshi – tepatnya kawasan Muarajambi. Yi Jing mempunyai kesan mendalam terhadap kawasan ini sebagaimana beliau tulis dalam catatannya: di kota Foshi yang berbenteng, terdapat ribuan biksu yang mempelajari semua mata pelajaran seperti di Madhyadesa, India. Beliau juga merekomendasikan orang yang ingin pergi ke India, untuk tinggal dan belajar di Foshi selama satu atau dua tahun.

Memang, Kawasan Cagar Budaya Muarajambi sekarang tidak meninggalkan cerita yang bisa kita cerna dengan kasat mata. Tetapi berdasarkan catatan dan beberapa tinggalan yang ada, diduga kuat bahwa Kawasan Muarajambi merupakan pusat pembelajaran tertua dan terlanggeng di Indonesia, setaraf dan semasa dengan Universitas Nalanda di India.

Sera Je dan Sera Me

Bertolak dari Bandara Bangalore, India, kami meluncur ke kawasan pembelajaran Buddhis alias Universitas Monastik yang masih aktif, yakni Sera Je dan Sera Me. Di kawasan ini, tinggal sekitar 3.500 biksu yang berasal dari Tibet, Sri Lanka dan daerah sekitar India. Kisaran usia mereka pun mencengangkan, mulai anak kecil berusia di bawah 10 tahun hingga remaja dan dewasa. Untuk memperoleh gelar Geshe (setara S3), para biksu harus belajar selama 20-25 tahun – banyak yang memulainya sejak usia dini. Kegiatan sehari-hari mereka adalah berdoa, mengikuti ceramah, melafal ajaran, berdebat, melakukan karma-yoga (tugas-tugas di vihara seperti memasak, menyapu), dsb. Sejak subuh, kegiatan vihara sudah menggeliat, terlihat ribuan biksu melakukan kebaktian bersama-sama. Beberapa biksu junior berlari-lari gesit; bolak-balik membawa teko berisi teh mentega (butter-tea) untuk dibagikan kepada semua peserta kebaktian. Terlihat juga beberapa umat awam (yang datang dari negara lain) ikut bersujud dan duduk di luar vihara, turut merasakan getaran energi dari doa ribuan biksu.

Para biksu tinggal di vihara dengan vinaya yang cukup ketat. Selain itu, tidak diperbolehkan menonton TV, bermain bola atau mengendarai motor (kecuali mereka yang mengurusi administrasi). Kawasan wihara didominasi dengan lapangan luas di empat penjuru, struktur yang sama dengan kawasan Muarajambi. Awalnya, gambaran ini sedikit membingungkan, apa fungsi lapangan luas? Menjelang senja, barulah diketahui bahwa lapangan luas digunakan sebagai ‘arena’ berdebat alias review pelajaran. Para biksu berpasang-pasangan: ada yang berdua, ada yang berkelompok kecil, memenuhi hampir setiap sudut lapangan – satu pihak bertanya; pihak lain menjawab – dengan suara-suara yang membaur di udara. Berdebat di sini tidak untuk membandingkan siapa yang lebih pintar, namun untuk mengerti ajaran lebih dalam lagi.

Suasana debat di Sera Me, India

Nalanda

Setelah beberapa hari di Sera menyaksikan ‘the living tradition’ (tradisi yang masih berlangsung hingga saat ini), kami menuju Nalanda, salah satu pusat pembelajaran Buddhadharma terbesar di masa dulu. Universitas Nalanda terletak di provinsi Bihar, India, berdiri sekitar abad ke-5 Masehi. Dilengkapi asrama, Nalanda merupakan universitas residental pertama di dunia, di mana para siswa dari Tiongkok, Korea, Sri Lanka dan Indonesia serta daerah-daerah lainnya datang untuk belajar. Di masa jayanya, ada lebih dari 10.000 murid dan 2.000 tenaga pengajar/guru di Nalanda. Hebatnya, mata kuliah yang diajarkan pada waktu itu sudah mencakup pancavidya: logika (hetuvidya), tata bahasa/kesusastraan (sabdavidya), ilmu pengobatan (cikitsavidya), kesenian (silpasthanavidya), dan inner science (adhyatmavidya). Dikatakan, para biksu yang ingin masuk ke Nalanda ‘mempersiapkan diri’ dengan belajar di Muarajambi terlebih dahulu (persis seperti persiapan masuk universitas favorit), termasuk Yi Jing.

Hingga saat ini, Nalanda masih menyisakan tinggalan-tinggalan seperti podium, halaman, sumur dan saluran irigasi, kolam, susunan batu-batu yang dulunya berfungsi sebagai kamar. Demikian pula tangga berlapis tiga yang melambangkan tiga dinasti: Gupta, Harshavadan dan Pala.

Mahavihara Nalanda, Bihar, India

Xuan Zang

Berlokasi di kompleks Mahavihara Nalanda, berdiri gedung Memorial Xuan Zang yang merupakan hasil kerja sama India dan Tiongkok. Konon, tergerak untuk mendapat ajaran Buddha dari sumber yang autentik, Xuan Zang datang ke India dan tinggal beberapa tahun di Nalanda. Xuan Zang belajar dan mengajar di sana. Sebagai hasilnya, beliau membawa pulang banyak sekali naskah Sanskerta dan menerjemahkannya ke Bahasa Tionghoa. Berkat perjalanan dan catatannya, Buddhadharma berkembang di Tiongkok, juga di tempat-tempat lain di dunia. Demikianlah, ajaran mampu dilestarikan. Dikatakan, puing-puing Nalanda berhasil direkonstruksi, terutama berkat catatan mendetail dari Xuan Zang.

Xuan Zang Memorial Hall di Nalanda, India

Vikramashila

Tujuan kami berikutnya adalah Universitas Vikramashila, salah satu di antara dua pusat pembelajaran Buddhadharma yang terpenting, selain Nalanda. Ketenaran Vikramashila membahana, salah satu alasannya adalah karena Acharya Dipamkara Srijnana tinggal dan mengajar di sini cukup lama, menjabat sebagai kepala akademi (semacam direktur pendidikan atau rektor).

Acharya Dipamkara Srijnana, yang kemudian dikenal dengan Lama Atisha adalah salah seorang alumni dari Indonesia, tepatnya Muarajambi. Berguru pada Acharya Dharmakirti, Dipamkara Srijnana belajar dan tinggal di Suwarnadwipa selama 12 tahun. Setelah belajar di Indonesia, beliau kembali ke India, mengajar di Nalanda lalu Vikramashila sebelum diundang ke Tibet.

Vikramashila, Bihar, India

Perjalanan ini membawa banyak kesan mendalam, seakan menilik kembali jejak beliau-beliau yang berjuang mendalami ajaran, melestarikan ajaran dan budaya yang tetap hidup hingga saat ini. Ada haru dan bahagia yang menyelinap, untuk semua yang menjaga dan mengakomodir kegiatan perjalanan ini dengan sangat baik, terlebih pada kesempatan untuk merasakan semua pengalaman di India, yang ternyata begitu dekat dengan kita, dengan Muarajambi, dengan Indonesia.

Perjalanan ke India bersama para pengajar dari Universitas Indonesia. Dr. R. Cecep Eka Permana S.S., M. Si (paling kiri), Prof. Dr. A. Aris Munandar (ke-2 dari kiri), (Calon Prof.) Agus Widiatmoko (ke-4 dari kiri).

Anda dapat meninggalkan respon, atau telusuri dari web Anda.

Komentar Anda

  • Berlangganan Milis



  • Powered by WordPress